32

A world crumbled when dad passed away on this day. Gemala Zenobia, a friend, left a short message on Facebook. “This, too, has a meaning. A message from your dad.” Her exact phrasing has begun to wriggle free from the confines of memory. The meaning or message dad tried to impart on the day he left this earth—or perhaps the way I should attach meaning to his departure—remains a puzzle for which I have yet to find a clue.

It has been fourteen years since. Aid, and more recently, Aki, followed. Late-night calls now bring dread; distance fills me with unease. Once again I face this day empty-handed, greeted by now thirteen unfinished drafts. Words, like in years past, are stuck in the stream of my annual, half-conscious reflections.

Maybe I should publish just this once.

Aid

Sewaktu kecil, saya adalah bocah yang sangat susah makan. Sebelum sendok makanan bisa masuk ke mulut saya, perhatian saya sering kali dialihkan, entah oleh tayangan TV atau pemandangan di jendela mobil. Ada seseorang yang lihai membantu ibu saya dalam urusan ini: Mbak Widati. Karena waktu kecil saya cadel, kami jadi memanggilnya Aid. Tiap kali saya dipegang Aid, makanan yang susah saya telan itu selalu berhasil mendarat masuk ke mulut–walau sering juga ujungnya sebagian terlepeh oleh saya.

Ibu saya adalah pekerja kantoran yang cukup sibuk. Semasa kecil hingga SD, waktu saya banyak dihabiskan bersama Aid dan nenek saya (saya biasa panggil Uti). Setiap hari Aid menunggu di depan gerbang sekolah, tempat antar-jemput anak-anak. Kadang bersama Uti. Ibu saya sementara itu disibukkan jika tidak dengan urusan kantor, maka dengan urusan perkooperasian di SD saat itu. Ibu saya waktu itu adalah pengurus koperasi.

Aid sudah mengurus saya hampir sejak saya dari lahir. Aid ibarat tante saya sendiri, jika tidak mau dibilang ibu kedua. Tiap ada urusan yang harus dikerjakan ibu saya tapi tidak bisa, Aid selalu menyikapinya dengan gesit. Kadang-kadang, Aid jadi penyeimbang bagi keputusan ibu saya yang kadang di luar akal. Pernah suatu hari, di tengah jalan sepulang dari liburan (sepertinya puncak), adik saya tiba-tiba ingin buang air besar. “Mau eek…” katanya merintih. Ibu saya, yang menyetir, langsung tancap gas pol-polan. Aid panik. “Nu jangan ngebut-ngebut!” Ybs punya ide lain: cari semak belukar, lalu biarkan adik buang air di sana.

Di rumah, Aid selalu duduk termangu (istilah Aid, ngglenuk) di depan TV. Biasanya pagi dan sore, di antara jeda pekerjaan rumah. Biasanya selalu ada cemilan seperti sambal dan ikan, serta segelas besar (gelas rootbeer A&W) es teh manis yang menemaninya menonton TV. Ibu saya sudah sering mengomeli Aid yang konsumsi gulanya luar biasa berlebihan, tapi namanya orang Jawa, sepertinya susah buat Aid buat menampik kebiasaan itu.

Di sore-sore seperti itu, saat saya sedang bermain Lego di dekatnya, kadang saya bertanya apa yang ditontonnya, saking seriusnya ybs terhenyak dalam tontonannya. Biasanya ybs tak berpanjang lebar menjawab saya. Aid yang agak gemuk dan berambut keriting pendek diikat itu hanya ngglenuk, asyik dengan tontonan dan makanannya.

Makanan bikinan Aid yang menjadi favorit saya adalah rawon. Aid sepertinya belajar dari juru masak paling andal di keluarga saya: Eyang Uti. Setiap kali Aid pulang kampung ke Klaten, kemudian kembali ke Jakarta, Aid selalu membawakan telor asin khas Klaten. Telor-telor asin itu kuning telornya berwarna merah, sedap sekali. Biasanya Aid akan memadukannya dengan rawon masakannya. Dulu saya selalu menanti masakan itu. Kadang-kadang bahkan saya gado, makan dengan lauknya saja, dan ujung-ujungnya saya habiskan. Aid sering mengomel kalau tahu saya mencuri jatah seperti itu. Katanya: jangan dihabiskan sendiri, pikirkan yang lain. Sepertinya omelan-omelan itu yang sekarang membuat saya jadi lebih sering menyisakan makanan yang dihidangkan di meja makan (walau cuma beberapa potong sih biasanya).

Aid senang sekali memberikan julukan pada saya dan adik saya. Saya biasa dipanggil “Gondel”. Entah apa artinya. Tapi mungkin merujuk pada bandelnya saya waktu kecil, dan juga isengnya saya. Saya pernah dengan ibu saya menakut-nakuti Aid dengan selimut, seperti pocong, di depan kamarnya. Jika sudah sebal, biasanya Aid akan bilang, dengan intonasi yang awalnya tinggi lalu makin merendah, ” Woooo, Gondel! Dasar…” Adik saya, di sisi lain, diberi julukan “Dimpu”. Saya juga tak tahu apa artinya, tapi bisa jadi karena terdengar lucu. Dim-nya sepertinya dari nama adik saya, Dimas.

Kadang-kadang saya cekcok dengan Aid. Biasanya kalau sudah urusan beberes rumah, yang sering kali terdapat miskomunikasi antara saya dengan ybs. Saya biasanya berucap kesal, “gimana sih Aid, gembel bener.” Saya waktu itu tidak mau menyebut “gemblung”, jadi saya mencari kata lain. Aid biasanya akan membalikkan, “gak apa-apa gembel, wong sugih!” Gembel adalah nama salah satu eyang saya yang cukup kaya raya.

Saat saya SMA, beranjak kuliah, Aid menikah. Setelah sekitar 17 tahun membesarkan saya dari lahir, akhirnya Aid meninggalkan rumah saya, hidup dengan kehidupannya sendiri. Suaminya hasil dari perjodohan yang dijodohkan orang tua saya. Ada masanya saya begitu kesal dengan keputusan itu–karena mendadak dan saya tidak dikabari–sehingga saya berteori konspirasi orang tua sengaja memisahkan saya dengan Aid.

Saya masih ingat waktu akhirnya Aid beranjak pergi dari rumah saya. Separuh berlinang air mata, Aid bilang, “kalo nanti udah jadi orang besar, jangan lupa sama Aid ya!” Aid waktu itu mencoba menutup air matanya dengan tawa. Memang, walau kadang judes dan menyebalkan, Aid adalah orang yang berusaha tampak ceria.

Suami Aid meninggal sekitar lima-enam tahun lalu. Tiap kali mengobrol singkat lewat telepon, kami selalu menyampaikan keinginan untuk bertemu satu sama lain. Aid kadang bercerita tentang sepinya di Klaten, dan kakinya yang sakit karena diabetes. Aid harus terus-menerus suntik insulin. Aid beberapa kali bilang bahwa ybs berencana untuk ke Jakarta ketika kondisinya sudah mendingan. Pada obrolan terakhir saya, Aid menyampaikan keinginannya untuk mampir ke Jakarta saat lebaran.

Seminggu terakhir saya entah kenapa teringat terus dengan Aid. Saya melihat udang yang dijual oleh kenalan saya, dan teringat makanan yang menemani tontonan Aid di TV pada sore hari. Saya ingin menelpon Aid, tapi rutinitas banal saya kerap menjadi excuse bagi saya untuk tidak melakukannya.

15 Januari 2021, ibu saya mencabut “uban pertama” di rambut saya. Saat itu saya tidak memikirkannya, tapi saya teringat waktu bertemu Aid yang beruban, dua atau tiga tahun lalu.

16 Januari 2021, saya mendapat kabar bahwa Aid meninggal dunia. Gagal ginjal.

Saya seharusnya menelpon beliau dari kemarin.

Saat ini saya sudah tidak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa menulis tulisan pendek ini di blog.

Kalau Aid bisa entah bagaimana membaca tulisan ini, Aid harus tahu kalau Gondel kangen ya Aid. Gondel tadinya masih berharap Aid bisa melunasi janjinya untuk main ke sini. Sekarang aku cuma bisa berharap semoga Aid sudah tidak kesakitan lagi di sana.

Al-Fatihah.

Jakarta,
17 Januari 2021.

When ‘blasphemy’ was all right

Religious scripture, according to a famed poet, was filled with “lies that are believed in every generation”. Such a remark may not seem strange in this day and age — though in Indonesia, unfortunately, it could cost you jail time. That remark however was made by Al-Ma’arri in 10th century Syria, during the Abbasid Caliphate. Though his words sparked controversy, Al-Ma’arri was never tried for his seemingly blasphemous words. He lived a long life and died at the age of 83.

The philosopher-physician Ar-Razi, who lived a few decades earlier, was also known for his stern criticism of religion. In his book, Fil Nubuwwat (On Prophecies), Ar-Razi wrote that religions were unreliable guides in understanding reality. He believed holy scripture was limited in its capacity to reveal truth, unlike scientific reasoning. He too lived a long life without enduring trials for blasphemy.

Indeed, contrary to the stereotypical portrayal of the medieval period as being backward and oppressive, the caliphate was actually relatively rich in its philosophical and religious exchanges. Thought-provoking statements on such matters were common and not limited only to a handful of scholars.

Baca lebih lanjut

Ilusi Ekonomi Berbagi Angkutan Online

Seperti mantra, istilah ekonomi berbagi (sharing economy) menyulap percakapan tentang aksi protes sopir taksi, Selasa pekan lalu, menjadi sekadar masalah teknologi dan inovasi. Tulisan Rhenald Kasali di Kompas, misalnya, menyematkan label-label menggiurkan: inovasi, perubahan, dan adaptasi. Anehnya, tulisan Rhenald sepertinya gagal memahami konsep ekonomi berbagi yang ia sebut berkali-kali. Grab, Uberr, Go-Jek, Airbnb, sampai OLX dan Kaskus, semuanya dicampuradukkan sebagai ekonomi berbagi.

Semua memang sama-sama berbasi teknologi, tapi tumpuan ekonomi berbagi bukanlah soal teknologi. Ekonomi berbagi bertumpu pada bagaimana individu mampu memanfaatkan idle capacity (aset menganggur) dari aset yang ia miliki tanpa kehilangan kepemilikan terhadap aset tersebut.

Baca lebih lanjut

Mengadzani Noragami

Salah satu anime Musim Gugur 2015, Noragami Aragoto, terhempas kontroversi lantaran memuat soundtrack yang berupa remix adzan. Reaksi warga internet, seperti biasanya, mengandung kadar kemarahan tinggi. Bukan cuma protes yang muncul dalam reaksi ini, tapi juga hinaan dan ancaman membunuh (!). Komentarnya bisa dilihat di [pranala ini]. Di lain sisi, ada yang menganggap reaksi warga internet ini sangat tak perlu. Asumsinya, adzan “cuma bahasa Arab” dan bahkan remix adzan dianggap bisa mempromosikan Islam. Anggapan ini menarik, tapi sebetulnya bermasalah.

Reaksi marah-marah dari warga internet memang tak perlu dimaklumi. Tapi ada dua hal menarik yang bisa ditinjau: 1) kenapa adzan dianggap tak patut untuk digubah sebagai soundtrack ajeb-ajeb seperti di Noragami; 2) dalam sejarahnya, betulkah adzan tak pernah digubah?

Saya kira sudah banyak yang menukil hadis/ayat Qur’an secara sepotong-sepotong untuk menjelaskan kenapa adzan tak pantas masuk jadi soundtrack. Jadi tulisan ini akan coba meminjam perspektif antropologi.

Baca lebih lanjut

Batu Mulia Para Penguasa

japanese edo fashionAndai bisa menembus ruang dan waktu ke Indonesia hari ini, Kaisar Romawi Augustus (63 SM-14 M) yang semasa hidupnya bergelimang permata barangkali akan sangat terperanjat melihat batu akik yang dijual di emperan dan pasar, jauh dari kesan glamor dan kemuliaan. “Tidak menunjukkan nilai-nilai Romawi,” begitu mungkin gerutunya. Di masanya, perhiasan seindah itu hanya pantas berada di genggaman kerajaan atau di kuil-kuil megah yang dipersembahkan untuk dewa-dewi.

Obsesi terhadap batu mulia memang selalu lekat dengan status sosial. Makam raja-raja Mesopotamia dan Mesir, misalnya, selalu dihiasi emas dan berlian. Raja-raja Tiongkok percaya gioknya akan menemani di alam kubur. Globus crusiber, bola berbalut emas yang melambangkan otoritas raja Inggris Abad Pertengahan, didekorasi zamrud dan opal. Kesultanan Aceh pun menjadikan akik dan ambar sebagai komoditas ekspor.

Tapi mungkin baru dalam kira-kira seabad terakhir kita bisa dengan lazim melihat obsesi itu dikejar dan dinikmati secara hampir merata oleh segala kalangan—seperti Indonesia dengan batu akiknya—asalkan yang terobsesi punya daya beli. Sebelumnya, di periode dan kawasan tertentu dalam sejarah, uang tidak selalu bisa membeli segalanya.

Baca lebih lanjut

Yang Terlupakan dalam Mimpi Khalifah

Hunain bin Ishaq Kekerasan terhadap umat Kristen Timur oleh ISIS barangkali menandakan mereka lupa akan satu hal penting: dalam sejarah kekhalifahan, peradaban Islam tidak akan pernah bisa dibangun tanpa kerja sama dengan umat Kristen. Khususnya pada masa Khulafaur Rasyidin hingga kekhalifahan Abbasiyah yang digadang-gadang sebagai “zaman keemasan Islam”.

Amnesia sejarah ini mungkin berlaku bukan hanya bagi para pejihad ISIS, tapi juga gerakan lain yang memimpikan kekhalifahan seperti Hizbut Tahrir, atau banyak orang yang sering mengagungkan kedigdayaan masa lalu. Di antara tokoh besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, atau Al-Farabi, banyak nama lain yang mungkin tak pernah terbayang dalam imajinasi modern tentang “peradaban Islam”.

Theodore Abu Qurrah misalnya. Namanya sepintas terdengar seperti blasteran Eropa dan Arab. Semakin tidak lazim bila diketahui bahwa Theodore lahir di Edessa, kota yang sekarang dikenal sebagai Sanliurfa (Turki) dan sempat tinggal beberapa tahun di Antiokhia (dulu Suriah, kini Turki) pada abad ke-9 saat kekhalifahan Abbasiyah berkuasa.

Baca lebih lanjut

Mengidolakan Negara, Mempasrahkan Tanggungan

Ada satu hal yang barangkali paling membedakan kenaikan harga BBM tahun ini dengan tahun-tahun sebelumnya: respon masyarakat. Pada rezim SBY, kenaikan harga BBM kerapkali ditanggapi dengan pesimisme, kisruh, dan kegundahan. Sekarang, di rezim Jokowi, suara-suara yang berkompromi meredam suara-suara sumbang yang biasanya nyaring menolak alihfungsi subsidi BBM. Padahal kenaikannya tidak tanggung-tanggung, langsung naik Rp2.000—empat kali lipat dari kenaikan di tahun 2013 (Rp500).

Langkah Jokowi memang bisa dibilang, secara politik, strategis. Harga BBM dinaikkan segera setelah Jokowi naik ke tampuk kepresidenan. Masyarakat masih punya tingkat kepercayaan tinggi pada rezim yang baru, hingga tidak timbul terlalu banyak resistensi. Alih-alih yang timbul justru kompromi dan konfirmasi.

Baca lebih lanjut

After Baha’i: In Search of an Alternative Framework for Religion

The Religious Affairs Ministry’s acknowledgment of the Baha’i faith as an official religion is good news preceding the installment of the new administration. However, there is still much work to be done.

As with any other “non-mainstream” faith, there are many questions as to whether Baha’i deserves to be acknowledged as a “religion”. Recently, for example, Indonesian Ulema Council (MUI) deputy secretary-general KH Tengku Zulkarnain argued that Baha’i was just a system of thought that was not on a par with a religion.

Such an argument is not new, and while the matter seems pedantic, it could bring serious consequences to those who profess the faith. Though formally guaranteed by the Constitution, believers of faiths outside the six official religions have faced difficulties expressing their piety.

The Baduy people who believe in Sunda Wiwitan, a local religion, have been denied identity cards as their faith is not recognized by the state. Similarly, the believers of the Parmalim faith around Lake Toba in North Sumatra must choose to acknowledge either Islam or Christianity.

While there are different approaches to this problem, the start would be to take a critical look at how the government defines religion.
Baca lebih lanjut

Pekerjaan Rumah Berdemokrasi dari Melody JKT48

Di tengah hingar-bingar pilpres dan yang berlanjut sesudahnya, media sosial selalu punya cerita sendiri. Sehari sebelum pemilihan, Melody Nurramdhani, personil kelompok idola JKT48, membuat para penggemarnya mengernyitkan dahi. Di Instagram, Melody menyukai salah satu foto yang diunggah akun Partai Gerindra. Malamnya, di Twitter dia mencuit, “kangen jaman Pak Soeharto dan Pak Abdurrahman Wahid.”

Reaksi penggemarnya beragam. Banyak yang mempertanyakan apa maksud sang idola, tapi tidak sedikit juga yang langsung mengkritik, mengaitkan dengan dukungan Melody pada salah satu capres. Selazimnya hal lain yang tersebar di media sosial, jumlah pengkritik pun bertambah ketika ia dibicarakan bukan lagi hanya oleh penggemarnya, tapi juga banyak pengguna internet lain. Salah satu cuitan mencibir, “dear capitalist’s fabricated dolls… you don’t know shit about jaman soeharto.”

Cuitan seorang artis sehari persis sebelum pemilu mungkin bukan hal luar biasa, tapi bagi JKT48 ceritanya sedikit lain: kelompok idola ini terkenal akan interaksi timbal-balik dengan penggemarnya—dari sekedar membalas cuitan hingga menerima kado dari penggemar dan bertukar salam—yang membuat grup ini cukup merambah popularitas terutama di kalangan pengguna internet muda.

Memang, esok pagi setelah cuitan sial itu, jejaknya sudah hilang dari linimasa Melody.

Baca lebih lanjut